Rabu, 11 Mei 2011

Antara Museum Kretek dan Kudus Kota Kretek


KOMPAS.com — MENCARI Museum Kretek, yang terletak di Desa Getaspejaten, Kecamatan Jati, Kabupaten Kudus, cukup mudah. Ketika memasuki wilayah administrasi Kabupaten Kudus dari arah Semarang, yaitu di perbatasan Kudus-Demak, tinggal mengikuti jalan raya-lurus ke depan sejauh sekitar dua kilometer.

Lalu ketika tiba di Kantor PLN Cabang Kudus, berbelok ke kanan sejauh 150 meter—tembus perempatan jalan. Nah di pojok perempatan itulah, Museum Kretek yang bangunannya berbentuk joglo—khas Jawa berada.

Museum yang konon satu-satunya di dunia, dibangun secara bertahap dengan peletakan batu pertama Gubernur Jawa Tengah, Ismail, 11 Desember 1984. Diresmikan Menteri Dalam Negeri Soepardjo Roestam pada 3 Oktober 1986, dengan biaya patungan dari Persatuan Perusahaan Rokok Kudus (PPRK) dengan Pemerintah Kabupaten Kudus.

Disebut sebagai museum kretek satu-satunya di dunia karena sejarah rokok kretek di Indonesia cikal-bakalnya berasal dari Kudus. Penemunya, menurut buku biografi singkat M Nitisemito, disebut Haji Djamhari, tetapi Ketua MUI, menyebut Haji Jamari, ada lagi yang menulis Jamahri dan Jumahri. Memang mirip satu sama lain, tetapi ke depan alangkah baiknya jika penulisan itu disepakati satu nama saja.

Meski ia sebagai penemu, tetapi justru Nitisemito, putra bungsu Haji Soelaeman, yang menjabat sebagai Lurah Desa Janggalan Kota Kudus, yang tercatat sebagai orang pertama yang mampu memproduksi rokok kretek dan mengembangkannya menjadi industri serta akhirnya dikenal sebagai Raja Kretek Indonesia.
Mengingat Haji Djamhari (menggunakan nama dari buku biografi singkat M Nitisemito), maka menurut pemerhati budaya asal Kudus, Djoko Herryanto, lahirnya industri rokok kretek Kudus pada 1870-1880.

Sedang Raja Kretek yang lahir 1863, baru membuka warungnya di sebelah barat sungai Gelis dan menjual rokok produksinya sendiri pada 1906. Rokok itu terbuat dari campuran tembakau dan cengkeh, dengan pembungkus daun jagung muda (klobot).

Seiring dengan kehadiran Haji Djamhari, Nitisemito, kemudian muncullah perusahaan rokok skala rumah tangga bagai jamur di musim hujan di Kudus, terutama di Kudus Kulon (Kota Kudus di sebelah barat Sungai Gelis).

Sejarah Haji Djamhari dan Nitisemito, hingga perkembangan industri rokok kretek di Kudus menjelang awal Oktober 1986 (termasuk berbagai benda bersejarah dari mesin tik, alat pemroses rokok tradisional, foto-foto, dan sebagainya) itulah yang menjadi inti dari isi Museum Kretek.

Guna menambah daya pikat pengunjung, di samping kiri museum agak ke depan didirikan rumah adat Kudus, meski tidak sebagus dan selengkap rumah adat Kudus yang dimiliki puluhan warga.

Selain masih dijumpai banyak kekurangan, tetapi menurut Djoko Herryanto, kehadiran Museum Kretek, mempertegas Kudus Kota Kretek. Ini bisa disejajarkan dengan Jakarta Kota Metropolitan, Jogjakarta Kota Pelajar, Pekalongan Kota Batik. Namun masih dibutuhkan perjuangan warga Kudus, pengusaha rokok, akademisi, dan Pemkab Kudus untuk membentuk image bahwa Kudus Kota Kretek mempunyai nilai strategis untuk mengangkat nama Indonesia sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Ia menambahkan, bila pengakuan resmi tingkat daerah, nasional, dan internasional mampu diwujudkan dalam bentuk simbiosis yang sempurna antara de jure dan de facto, tentulah akan menjadi suatu kebanggaan tersendiri bahwa di sinilah, di negeri Indonesia, budaya kretek kali pertama muncul. Semoga.

Sumber: Kompas, Rabu, 11 Mei 2009

Tidak ada komentar:

Posting Komentar