Batik adalah karya budaya yang mewakili identitas indonesia di tingkat internasional. Dalam selembar kain batik, terpapar identitas budaya dan sejarah sebuah daerah atau kota. Ada ribuan jenis dan motif batik yang lahir dan berkembang di banyak daerah di Indonesia. Salah satu jenis batik yang mempunyai motif unik dan menarik adalah batik Kudus.
Batik Kudus merupakan produk yang diciptakan dari salah satu daerah di pulau jawa, yang merupakan pusat perkembangan agama Islam serta memiliki pengaruh kuat budaya Cina sebagai sebuah karya multi kultur.
Sejarah mengungkapkan, bahwa pengaruh budaya dari para saudagar Cina sangat berpengaruh bagi kebudayaan Indonesia. Ketika mereka mengadakan perjalanan perdagangan, dana datang ke pulau Jawa. Mereka mendatangkan para pengrajin batik dari Pekalongan untuk menciptakan batik peranakan dengan ciri khas yang sama dengan batik Kudus. Selain itu, Kudus juga menghasilkan batik-batik yang sangat dipengaruhi budaya Islam. Hal ini tercermin dalam corak batiknya yang memakai motif huruf Arab (batik kaligrafi), dengan didominasi warna-warna yang cenderung gelap, seperti biru tua dan hitam.
Di kalangan pencinta kain, batik khas Kudus dikenal sebagai batik peranakan yang halus dengan isen-isen (isian dalam ragam pola utama) yang rumit seperti batik Jawa Tengah pada umumnya. Diantara isen-isen yang dikenal dalam Batik Kudus adalah isen gabah sinawur, moto iwak, mrutu sewu dan lain sebagainya.
Batik Kudus juga dikenal dengan warna-warna sogan (kecoklatan) dengan corak tombak, kawung atau parang, tetapi juga dihiasi dengan buketan (rangkaian bunga) dengan imbuhan pinggiran lebar, taburan kembang, kupu-kupu dan burung dengan warna-warna cerah.
Batik Kudus agaknya perlu dilestarikan serta dipasarkan lebih jauh, agar dapat bersaing di pangsa perdagangan internasional. Karena batik kudus memiliki keindahan tersendiri serta kelebihan yang tidak sama dengan batik lainnya.
Untuk itu, semua kebudayaan negara kita khususnya kesenian batik wajib kita jaga dan kita lestarikan sebagai identitas negara kita. Terlebih sudah adanya hak paten dari UNESCO, kita akan lebih mantap dalam melestarikan kesenian batik. Adapun caranya yaitu dengan selalu belajar dan mempraktikkan untuk menciptakan sebuah karya seni batik yang mempunyai motif baru dan unik.
Sumber: lintaskudus.blogspot.com
Peganjaran merupakan desa nan indah dan permai di kaki Gunung Muria (Kudus) yang meliputi beberapa kampung (dukuh), yaitu: Blender, Gambiran, Jatisari, Jatisari Tempel, Delingo dan Gedangsewu.
Selasa, 27 September 2016
IFC Angkat Batik Kudus ke Hong Kong Center Stage
SEBAGAI salah satu pusat mode dunia, Indonesia memastikan diri untuk ikut ambil bagian dalam ajang Center Stage-Asia's Premiere Fashion pada 7-10 September 2016 mendatang di Hong Kong.
Keikutsertaan Indonesia di ajang internasional ini diwujudkan dengan mengirimkan empat siswi, yang berhasil terpilih untuk menghadirkan karya busana mereka lewat pagelaran busana di Hong Kong nanti. Dimana keempat siswi berbakat ini, Risa Maharani, Nadia Royyana, Rania dan Nia Faradiska adalah hasil program peningkatan kualitas sekolah menengah kejuruan dari Bakti Pendidikan Djarum Indonesia yang bekerja sama dengan Indonesia Fashion Chamber (IFC).
Keempatnya digembleng para desainer yang tergabung dalam IFC, untuk menampilkan karya desain urban modest wear dengan tema besar kain Batik. Kali ini bukan batik Pekalongan, Jogja atau Solo yang sudah terlalu populer namanya yang diangkat, melainkan batik Kudus lah yang akan ditampilkan oleh Risa Maharani, Nadia Royyana, Rania dan Nia Faradiska dalam pagelaran busana di panggung utama di perhelatan Center Stage nanti.
Selaku national chairman IFC, Ali Charisma mengungkapkan mengapa untuk fashion show berkelas internasional ini diputuskan untuk mengangkat kain tradisional Batik asal kota Kudus. “Kenapa batik Kudus, ya karena belum sekuat batik di kota lain misal Jogja-Solo-Pekalongan. Jadi memang masih membutuhkan media promosi khusus sehingga tidak seakan mendompleng batik di kota-kota itu,” ungkap Ali yang ditemui Okezone seusai acara siaran media "Membawa Karya SMK ke Panggung Dunia," kemarin di Artotel, Jakarta Pusat.
Ali menambahkan untuk motif kain batik dari Kudus ini, kurang lebih ada dua motif yang ditonjolkan yaitu motif gebyok dan motif beras kecer. “Lewat desain keempat siswi SMK NU Banat dan Zalmera ini, kita bawa motif seperti beras kecer dan gebyok yang kita kembangkan. Misalnya motif braskecer yang kita modifikasi. Tadinya cuma di ujung lalu kita ubah jadi motif utamanya,” pungkas Ali. (ren)
Sumber: Okezone.com
Keikutsertaan Indonesia di ajang internasional ini diwujudkan dengan mengirimkan empat siswi, yang berhasil terpilih untuk menghadirkan karya busana mereka lewat pagelaran busana di Hong Kong nanti. Dimana keempat siswi berbakat ini, Risa Maharani, Nadia Royyana, Rania dan Nia Faradiska adalah hasil program peningkatan kualitas sekolah menengah kejuruan dari Bakti Pendidikan Djarum Indonesia yang bekerja sama dengan Indonesia Fashion Chamber (IFC).
Keempatnya digembleng para desainer yang tergabung dalam IFC, untuk menampilkan karya desain urban modest wear dengan tema besar kain Batik. Kali ini bukan batik Pekalongan, Jogja atau Solo yang sudah terlalu populer namanya yang diangkat, melainkan batik Kudus lah yang akan ditampilkan oleh Risa Maharani, Nadia Royyana, Rania dan Nia Faradiska dalam pagelaran busana di panggung utama di perhelatan Center Stage nanti.
Selaku national chairman IFC, Ali Charisma mengungkapkan mengapa untuk fashion show berkelas internasional ini diputuskan untuk mengangkat kain tradisional Batik asal kota Kudus. “Kenapa batik Kudus, ya karena belum sekuat batik di kota lain misal Jogja-Solo-Pekalongan. Jadi memang masih membutuhkan media promosi khusus sehingga tidak seakan mendompleng batik di kota-kota itu,” ungkap Ali yang ditemui Okezone seusai acara siaran media "Membawa Karya SMK ke Panggung Dunia," kemarin di Artotel, Jakarta Pusat.
Ali menambahkan untuk motif kain batik dari Kudus ini, kurang lebih ada dua motif yang ditonjolkan yaitu motif gebyok dan motif beras kecer. “Lewat desain keempat siswi SMK NU Banat dan Zalmera ini, kita bawa motif seperti beras kecer dan gebyok yang kita kembangkan. Misalnya motif braskecer yang kita modifikasi. Tadinya cuma di ujung lalu kita ubah jadi motif utamanya,” pungkas Ali. (ren)
Sumber: Okezone.com
Batik Kudus Memukau di New York Fashion Week 2016
Perancang Denny Wirawan menampilkan 15 looks koleksi Balijava Batik Kudus pada runway Fashion Gallery New York Fashion Week (FGNYFW) 2016, Senin, 15 Februari 2016. "Saya harap Balijava dengan koleksi Batik Kudus dapat menjadi jalan karya anak bangsa diterima oleh pasar internasional seperti Amerika Serikat," kata Denny dalam keterangan pers, Senin, 15 Februari 2016.
FGNYFW adalah bagian dari rangkaian acara Pekan Mode New York yang juga dianggap salah satu kiblat fesyen dunia. Fashion Gallery adalah runway para perancang dengan lini busana siap pakai (prêt-à-porter) yang juga merupakan fokus Denny untuk Balijava dengan koleksi Batik Kudus bertema "Padma".
Balijava dengan koleksi Batik Kudus menggunakan palet warna gelap, seperti blue navy, green olive, beige, dan hitam untuk menyesuaikan tema musim gugur dan musim dingin.
Gaya yang ditawarkan adalah siap pakai dengan atasan, outer, rok panjang, celana panjang, cape, long coat, serta gaun panjang yang bertumpuk dan semuanya bisa dipadupadankan. Motif Batik Kudus yang digunakan adalah motif wajikan, beras kecer dan kotak geometrik sebagai dasar berpadu dengan motif utama bunga Lotus.
(Sumber: Tempo.com)
FGNYFW adalah bagian dari rangkaian acara Pekan Mode New York yang juga dianggap salah satu kiblat fesyen dunia. Fashion Gallery adalah runway para perancang dengan lini busana siap pakai (prêt-à-porter) yang juga merupakan fokus Denny untuk Balijava dengan koleksi Batik Kudus bertema "Padma".
Balijava dengan koleksi Batik Kudus menggunakan palet warna gelap, seperti blue navy, green olive, beige, dan hitam untuk menyesuaikan tema musim gugur dan musim dingin.
Gaya yang ditawarkan adalah siap pakai dengan atasan, outer, rok panjang, celana panjang, cape, long coat, serta gaun panjang yang bertumpuk dan semuanya bisa dipadupadankan. Motif Batik Kudus yang digunakan adalah motif wajikan, beras kecer dan kotak geometrik sebagai dasar berpadu dengan motif utama bunga Lotus.
(Sumber: Tempo.com)
Keunikan Batik Khas Kudus
Batik Kudus adalah kerajinan yang memiliki nilai seni tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia, umumnya jawa dan khususnya daerah kudus dan sekitarnya. Orang-orang Jawa di masa lampau menjadikan keterampilan mereka dalam membatik sebagai mata pencaharian, sehingga di masa lalu pekerjaan membatik adalah pekerjaan eksklusif perempuan.
Batik Jawa mempunyai motif-motif yang berbeda-beda, termasuk batik kudus yang sekarang sedang berkembang. Pengakuan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) terhadap batik Indonesia, membawa angin segar bagi industri batik nasional, tak terkecuali Batik Kudus. Batik Kudus memiliki akar sejarah yang sangat panjang dalam khazanah batik nasional.
Sejarah itu di antaranya tergores dalam batik motif Tiga Negeri. Motif batik ini memiliki sejarah yang sangat unik. Karena dalam proses pembuatannya, dilakukan di tiga negeri (daerah). Pemakaian warna dalam proses pembatikan di yang berbeda. Warna merah dilakukan di Lasem, biru dan violet di Kudus dan Pekalongan. Untuk warna Soga dan Hitam, dilakukan di Solo dan Jogja. Sejarah motif batik Tiga Negeri inilah, yang menegaskan, bahwa batik Kudus, memang memiliki sejarah yang sangat panjang dan diakui dalam dunia batik nasional.
Karya perajin pesisir batik asal Kudus, Jawa Tengah, ini lahir dari perpaduan kreasi perajin batik Pekalongan, Yogyakarta, dan Solo. Pada era 1940-an, pedagang Cina di Kudus mengundang perajin batik dari berbagai daerah untuk membuatkan batik khusus untuk mereka. Alhasil, kolaborasi dari perajin batik ini menghasilkan motif batik yang unik. Bagian dasar batik Kudus kental dengan sentuhan batik Yogyakarta dan Solo, sedangkan motif bunganya lekat dengan karakter batik Pekalongan.
Batik Kudus tidak hanya bermotif multikultur, warnanya pun sangat kaya, lantaran perpaduan budayanya. Batik Kudus memiliki pengaruh Arab (kaligrafi) lantaran Kudus berdekatan dengan Demak, yang identik dengan penyebaran ajaran Islam. Warna cokelat dan hitam juga memperkaya warna batik Kudus.
Berbagai motif kain otentik pada batik Kudus yang selama ini dikenal dengan batik peranakan yang halus dengan isen-isen rumit, seperti gabah sinawur, moto iwak, atau mrutu sewu. Batik ini berwarna sogan (kecokelatan) seperti umumnya batik Jawa Tengah. Namun, tentang corak, pilihannya beragam, mulai corak tombak, kawung, atau parang, yang dihiasi dengan buketan, pinggiran lebar (terang bulan), taburan kembang, kupu-kupu, atau burung dengan warna cerah, seperti merah.
Keunikan batik Kudus memiliki perkembangan warna dan motif yang indah. Seperti warna dan motif kupu-kupu, daun tembakau, yang dikembangkan bekerja sama dengan perajin Youke Yuliantaries.
Batik Kudus memiliki keunikan, yaitu paling sulit dikenali dan gayanya membingungkan. Hal inilah yang menjadi keunikan karena perbedaan serta keragaman budaya yang tecermin di motifnya. Batik Kudus selalu mempunyai dasar yang rumit, memiliki tingkat kehalusan tinggi dan unik di detailnya. Pembuatan batik tulis Kudus tidak selesai dalam waktu enam bulan.
Batik Jawa mempunyai motif-motif yang berbeda-beda, termasuk batik kudus yang sekarang sedang berkembang. Pengakuan United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) terhadap batik Indonesia, membawa angin segar bagi industri batik nasional, tak terkecuali Batik Kudus. Batik Kudus memiliki akar sejarah yang sangat panjang dalam khazanah batik nasional.
Sejarah itu di antaranya tergores dalam batik motif Tiga Negeri. Motif batik ini memiliki sejarah yang sangat unik. Karena dalam proses pembuatannya, dilakukan di tiga negeri (daerah). Pemakaian warna dalam proses pembatikan di yang berbeda. Warna merah dilakukan di Lasem, biru dan violet di Kudus dan Pekalongan. Untuk warna Soga dan Hitam, dilakukan di Solo dan Jogja. Sejarah motif batik Tiga Negeri inilah, yang menegaskan, bahwa batik Kudus, memang memiliki sejarah yang sangat panjang dan diakui dalam dunia batik nasional.
Karya perajin pesisir batik asal Kudus, Jawa Tengah, ini lahir dari perpaduan kreasi perajin batik Pekalongan, Yogyakarta, dan Solo. Pada era 1940-an, pedagang Cina di Kudus mengundang perajin batik dari berbagai daerah untuk membuatkan batik khusus untuk mereka. Alhasil, kolaborasi dari perajin batik ini menghasilkan motif batik yang unik. Bagian dasar batik Kudus kental dengan sentuhan batik Yogyakarta dan Solo, sedangkan motif bunganya lekat dengan karakter batik Pekalongan.
Batik Kudus tidak hanya bermotif multikultur, warnanya pun sangat kaya, lantaran perpaduan budayanya. Batik Kudus memiliki pengaruh Arab (kaligrafi) lantaran Kudus berdekatan dengan Demak, yang identik dengan penyebaran ajaran Islam. Warna cokelat dan hitam juga memperkaya warna batik Kudus.
Berbagai motif kain otentik pada batik Kudus yang selama ini dikenal dengan batik peranakan yang halus dengan isen-isen rumit, seperti gabah sinawur, moto iwak, atau mrutu sewu. Batik ini berwarna sogan (kecokelatan) seperti umumnya batik Jawa Tengah. Namun, tentang corak, pilihannya beragam, mulai corak tombak, kawung, atau parang, yang dihiasi dengan buketan, pinggiran lebar (terang bulan), taburan kembang, kupu-kupu, atau burung dengan warna cerah, seperti merah.
Keunikan batik Kudus memiliki perkembangan warna dan motif yang indah. Seperti warna dan motif kupu-kupu, daun tembakau, yang dikembangkan bekerja sama dengan perajin Youke Yuliantaries.
Batik Kudus memiliki keunikan, yaitu paling sulit dikenali dan gayanya membingungkan. Hal inilah yang menjadi keunikan karena perbedaan serta keragaman budaya yang tecermin di motifnya. Batik Kudus selalu mempunyai dasar yang rumit, memiliki tingkat kehalusan tinggi dan unik di detailnya. Pembuatan batik tulis Kudus tidak selesai dalam waktu enam bulan.
Cerita Menarik di Balik Beragam Motif Batik Kudus
Batik merupakan kerajinan yang telah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit pada abad ke-7 sampai 14. Pesona dari motif, dan kerumitan tekniknya menjadi daya tarik hingga saat ini sebagai warisan budaya Indonesia yang mendunia, tak terkecuali Batik Kudus.
Batik Kudus berasal dari sebuah kampung di Kudus Kulon, yaitu Kampung Langgar Dalem. Kampung tersebut dihuni oleh sebagian besar anak dan kerabat dari Sunan Kudus.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, para wanita di desa tersebut biasa menenun dan juga membatik di mana proses akhir dilakukan di Sungai Gelis di timur Kampung Langgar Dalem.
Dilansir dari buku "Batik Kudus, The Heritage," karya Miranti Serad Ginanjar pada Senin (26/10) keindahan batik yang lahir dari tangan telaten wanita Kampung Langgar Dalem ternyata mampu menarik beberapa saudagar dari Arab. Para saudagar yang mayoritas pedangan dan pengusaha Muslim tersebut menjadikan Batik Kudus sebagai komoditi yang diperdagangkan.
Sejak saat itu mulai berkembang motif kaligrafi yang kental akan sentuhan Islam yang menghiasi beberapa model Batik Kudus. Selain kaligrafi, motif Batik Kudus yang juga dikenal luas dan melegenda, yaitu lar (sayap) dengan isen-isen (isian) beras kecer (beras tercecer).
Selain Arab, Batik Kudus yang didominasi oleh warna biru indigo dan coklat soga ini ternyata juga dipengaruhi oleh budaya Belanda. Hal tersebut ditunjukkan dengan motif-motif tidak lazim yang muncul pada periode 1840-1920-an seperti flora dan fauna dari benua Eropa, serta ornamen yang terdapat dalam dongeng sastra Belanda.
Uniknya, motif-motif Batik Kudus dengan latar budaya Belanda tersebut lahir dari tangan wanita asli dari Belanda sendiri, seperti Carolina Josephina con Franquemont, Chaterina Carikiba van Oosterom, Eliza van Zuylen, B. Fisher, Lien Metzelaar, dan Wiler.
Banyaknya budaya yang mempengaruhi Batik Kudus, mulai dari Jawa, Arab, Tionghoa, dan Belanda, membuat batik ini memiliki motif yang kaya.
Kudus yang terkenal dengan industri kretek, menjadikan Batik Kudus sebagai media promosi industri tersebut sehingga terciptalah kolaborasi yang indah. Kolaborasi tersebut diwujudkan dalam produk Batik Kudus yang memiliki motif rokok, termasuk alat pembuat kretek, logo perusahaan, sampai seragam pegawainya.
Sumber: Liputan6.com, Batik Kudus The Heritage
Batik Kudus berasal dari sebuah kampung di Kudus Kulon, yaitu Kampung Langgar Dalem. Kampung tersebut dihuni oleh sebagian besar anak dan kerabat dari Sunan Kudus.
Untuk memenuhi kebutuhan hidup, para wanita di desa tersebut biasa menenun dan juga membatik di mana proses akhir dilakukan di Sungai Gelis di timur Kampung Langgar Dalem.
Dilansir dari buku "Batik Kudus, The Heritage," karya Miranti Serad Ginanjar pada Senin (26/10) keindahan batik yang lahir dari tangan telaten wanita Kampung Langgar Dalem ternyata mampu menarik beberapa saudagar dari Arab. Para saudagar yang mayoritas pedangan dan pengusaha Muslim tersebut menjadikan Batik Kudus sebagai komoditi yang diperdagangkan.
Sejak saat itu mulai berkembang motif kaligrafi yang kental akan sentuhan Islam yang menghiasi beberapa model Batik Kudus. Selain kaligrafi, motif Batik Kudus yang juga dikenal luas dan melegenda, yaitu lar (sayap) dengan isen-isen (isian) beras kecer (beras tercecer).
Selain Arab, Batik Kudus yang didominasi oleh warna biru indigo dan coklat soga ini ternyata juga dipengaruhi oleh budaya Belanda. Hal tersebut ditunjukkan dengan motif-motif tidak lazim yang muncul pada periode 1840-1920-an seperti flora dan fauna dari benua Eropa, serta ornamen yang terdapat dalam dongeng sastra Belanda.
Uniknya, motif-motif Batik Kudus dengan latar budaya Belanda tersebut lahir dari tangan wanita asli dari Belanda sendiri, seperti Carolina Josephina con Franquemont, Chaterina Carikiba van Oosterom, Eliza van Zuylen, B. Fisher, Lien Metzelaar, dan Wiler.
Banyaknya budaya yang mempengaruhi Batik Kudus, mulai dari Jawa, Arab, Tionghoa, dan Belanda, membuat batik ini memiliki motif yang kaya.
Kudus yang terkenal dengan industri kretek, menjadikan Batik Kudus sebagai media promosi industri tersebut sehingga terciptalah kolaborasi yang indah. Kolaborasi tersebut diwujudkan dalam produk Batik Kudus yang memiliki motif rokok, termasuk alat pembuat kretek, logo perusahaan, sampai seragam pegawainya.
Sumber: Liputan6.com, Batik Kudus The Heritage
Akulturasi Budaya dan Kearifan Lokal, Ciri Utama Batik Kudus
Di tengah derasnya tren mode masa kini yang digemari para generasi muda, wastra Nusantara seperti batik tetap memiliki tempat khusus di hati masyarakat Indonesia.
Sekarang, busana batik tidak hanya dikenakan oleh orangtua, tapi generasi muda pun tidak malu dan canggung mengenakan batik dalam berbagai kesempatan.
Namun, tidak banyak yang mengenali ragam motif batik yang begitu beragam karena setiap daerah di Jawa memiliki motif batik sendiri yang unik dan indah.
Salah satu motif batik yang kini tengah kembali menggeliat adalah Batik Kudus. Nah, seperti apa batik Kudus dan karakteristiknya dibandingkan dengan batik lainnya?
Yuli Astuti, penggiat batik Kudus dan pemilik galeri Muria Batik Kudus, batik Kudus merupakan salah satu golongan batik pesisir, seperti batik Pekalongan, batik Jepara, maupun batik Lasem. Jadi, batik ini pun memiliki warna yang cerah dengan motif unik yang begitu khas dan mudah dikenali.
Satu hal yang membedakan batik Kudus dengan batik lainnya menurut Yuli adalah akulturasi budaya antara budaya China, pribumi, dengan unsur Islam.
Hal ini mudah dipahami, karena Kudus merupakan asal dari dua Wali Songo penyebar Islam di Tanah Jawa, yakni Sunan Kudus dan Sunan Muria. Sehingga, ada unsur-unsur tersebut dalam motif batik Kudus.
Aksen Islam dalam batik Kudus hadir dalam motif-motif seperti Menara Kudus, kaligrafi Islami, dan sebagainya.
Namun, motif batik Kudus juga mengandung kearifan lokal masyarakat Kudus. Hal ini terlihat dari munculnya motif seperti Kapal Kandas, Parijotho, Gebyok, dan isen-isen beras kecer.
"Motif batik Kudus misalnya adalah Parijotho yang amat dikenal oleh masyarakat Kudus. Motif lainnya adalah Menara Kudus, Gebyok, Pakis Haji, Bulusan, Kapal Kandas, dan sebagainya. Kami menghadirkan folklor dalam motif dan unsur budaya asli Kudus dalam motif batik," ujar Yuli di sela-sela bedah buku Batik Kudus The Heritage di Galeri Indonesia Kaya, Senin (26/10/2015).
Selain itu, karakteristik lain batik Kudus adalah pemilihan warna. Batik Kudus biasanya dominan dengan warna tradisional sogan atau warna cokelat maupun biru indigo.
Warna sogan sebenarnya kental terlihat pada batik-batik dari Yogyakarta maupun Solo. Namun, kehadiran warna sogan pada batik Kudus pun diisyaratkan sebagai akulturasi maupun pengaruh yang diperoleh dari jenis batik lainnya. (Sumber: Kompas.com)
Sekarang, busana batik tidak hanya dikenakan oleh orangtua, tapi generasi muda pun tidak malu dan canggung mengenakan batik dalam berbagai kesempatan.
Namun, tidak banyak yang mengenali ragam motif batik yang begitu beragam karena setiap daerah di Jawa memiliki motif batik sendiri yang unik dan indah.
Salah satu motif batik yang kini tengah kembali menggeliat adalah Batik Kudus. Nah, seperti apa batik Kudus dan karakteristiknya dibandingkan dengan batik lainnya?
Yuli Astuti, penggiat batik Kudus dan pemilik galeri Muria Batik Kudus, batik Kudus merupakan salah satu golongan batik pesisir, seperti batik Pekalongan, batik Jepara, maupun batik Lasem. Jadi, batik ini pun memiliki warna yang cerah dengan motif unik yang begitu khas dan mudah dikenali.
Satu hal yang membedakan batik Kudus dengan batik lainnya menurut Yuli adalah akulturasi budaya antara budaya China, pribumi, dengan unsur Islam.
Hal ini mudah dipahami, karena Kudus merupakan asal dari dua Wali Songo penyebar Islam di Tanah Jawa, yakni Sunan Kudus dan Sunan Muria. Sehingga, ada unsur-unsur tersebut dalam motif batik Kudus.
Aksen Islam dalam batik Kudus hadir dalam motif-motif seperti Menara Kudus, kaligrafi Islami, dan sebagainya.
Namun, motif batik Kudus juga mengandung kearifan lokal masyarakat Kudus. Hal ini terlihat dari munculnya motif seperti Kapal Kandas, Parijotho, Gebyok, dan isen-isen beras kecer.
"Motif batik Kudus misalnya adalah Parijotho yang amat dikenal oleh masyarakat Kudus. Motif lainnya adalah Menara Kudus, Gebyok, Pakis Haji, Bulusan, Kapal Kandas, dan sebagainya. Kami menghadirkan folklor dalam motif dan unsur budaya asli Kudus dalam motif batik," ujar Yuli di sela-sela bedah buku Batik Kudus The Heritage di Galeri Indonesia Kaya, Senin (26/10/2015).
Selain itu, karakteristik lain batik Kudus adalah pemilihan warna. Batik Kudus biasanya dominan dengan warna tradisional sogan atau warna cokelat maupun biru indigo.
Warna sogan sebenarnya kental terlihat pada batik-batik dari Yogyakarta maupun Solo. Namun, kehadiran warna sogan pada batik Kudus pun diisyaratkan sebagai akulturasi maupun pengaruh yang diperoleh dari jenis batik lainnya. (Sumber: Kompas.com)
Batik Kudus: Semangat Multikulturalisme dalam Selembar Kain
Tanggal 1 Oktober telah menjadi hari batik nasional, sudah selayaknya potensi batik nusantara yang penuh dengan nilai filosofis dan akulturasi kembali digali.
Batik merupakan karya budaya yang mewakili identitas Indonesia di kancah internasional. Dalam selembar kain batik, terpapar identitas budaya bangsa, serta sejarah suatu daerah atau kota.
Bukan hanya satu atau dua jenis dan motif batik saja yang lahir dan berkembang, namun ada ribuan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya yaitu Batik Kudus yang didesain dengan motif unik dan menarik.
Batik Kudus merupakan produk yang dihasilkan dari salah satu daerah di Pulau Jawa yang merupakan pusat perkembangan agama Islam, serta memiliki pengaruh kuat dari budaya Cina. Hal tersebutlah yang menjadikan Batik Kudus ini sebagai hasil karya multikultur.
Sejak masa Sunan Kudus, sekitar tahun 1600an hingga 1930an, Batik Kudus mengalami asimilasi dengan kebudayaan Cina. Sejarah mengungkapkan bahwa pengaruh budaya dari para pedagang Cina kaya zaman dahulu yang mendatangkan para pembatik dari Pekalongan menciptakan batik peranakan dengan ciri khas Batik Kudus.
Batik Kudus juga menghasilkan batik-batik lainnya yang sangat dipengaruhi budaya Islam. Hal ini terpapar dari dalam batiknya yang didominasi dengan motif Arab. Warna-warnanya pun cenderung gelap, seperti hitam, dan biru tua.
Awalnya Batik Kudus yang berasal dari utara pulau Jawa ini, telah populer sejak era Sunan Kudus di abad ke-16. Pada era Sunan Kudus (Syekh Jafar Shodiq), Batik Kudus berpusat di Langgar Dalem dan terkenal dengan motif Langgar Dalem yang kental dengan sentuhan Islam. Pada masa itu, semua wanita di Langgar Dalem dapat membatik Kudus demi memenuhi kebutuhan pakaian masyarakat sekitar dan Sunan Kudus sendiri.
Memasuki tahun 1800, Batik Kudus mulai diproduksi sebagai home industry dan pusat produksi bergeser ke arah barat atau Kudus Kulon. Sesuai dengan sosiokultural yang berlaku pada masa itu bahwa gadis-gadis Kudus Kulon dalam menjalani kehidupannya dipingit oleh orang tua mereka.
Untuk mengisi waktu, gadis-gadis tersebut diajari membatik. Selain Rama Kembang, Beras Kecer dan Alas Kobong, motif Kapal Kandas merupakan motif yang digemari para pembeli pada waktu itu.
Meskipun kerajinan batik di Kudus mulai ada pada tahun 1935, namun baru berkembang pesat pada tahun 1970-an. Corak dan motif Batik Kudus sangat beragam, karena pada masa itu selain berasal dari penduduk asli setempat, para pengrajin Batik Kudus juga berasal dari etnis Tionghoa.
Sekitar tahun 1950-an munculnya nama seniman seperti Liem Boe In, Liem Boen Gan, Kwe Suiauw, Ok Hwa, dan Gan Tjioe Gwat yang memberikan warna baru pada motif Batik Kudus. Seniman-seniman Cina tersebut muncul memberi ide-ide baru dalam motif Batik Kudus.
Batik Kudus juga dikenal sebagai batik peranakan yang halus dengan isen-isen (isian dalam raga, pola utama) yang rumit. Batik ini didesain dengan warna-warna sogan (kecoklatan) yang diberi corak parang, tombak, atau kawung. Batik tersebut juga dihias dengan rangkaian bunga, kupu-kupu, serta ragam motif lainnya yang sesuai dengan ciri khas Kabupaten Kudus.
Batik Pesisir
Batik Kudus coraknya lebih condong ke batik pesisiran, yakni adanya kemiripan dengan corak batik Pekalongan maupun Lasem. Batik Kudus yang dibuat oleh pengrajin Cina atau Tionghoa dikenal dengan batik nyonya atau batik saudagaran.
Batik ini mempunyai ciri khas isen-isennya yang halus dan rumit, dan kebanyakan dipakai oleh kalangan menengah ke atas. Di samping itu, motif yang dibuat coraknya lebih ke arah perpaduan antara batik pesisir dan batik mataraman (warna sogan).
Batik Kudus yang dibuat oleh pengrajin asli Kudus dipengaruhi oleh budaya sekitar dan coraknya juga dipengaruhi batik pesisiran. Motif yang dibuat mempunyai arti ataupun kegunaan, misalnya untuk acara akad nikah ada corak Kudusan seperti busana kelir, burung merak dan adapula motif yang bernafaskan budaya Islam atau motif Islamic Kaligrafi.
Motif yang bernafaskan kaligrafi dipengaruhi oleh sejarah walisongo yang berada di Kudus yaitu Sunan Kudus (Syekh Dja’far Shodiq) dan Sunan Muria (Raden Umar Said). Corak yang bernafaskan Islam ini timbul karena pengrajin batik banyak berkembang di sekitar wilayah Sunan Kudus atau dikenal dengan Kudus Kulon.
Salah satu motif yang juga sangat dikenal di Kudus adalah motif Kapal Kandas. Menurut sejarah yang dituturkan oleh juru kunci Gunung Muria, motif Kapal Kandas tersebut berkaitan dengan sejarah kapal Dampo Awang milik Sam Poo Kong yang kandas di Gunung Muria. Menurut sejarahnya, pada masa itu terjadi perdebatan antara Sunan Muria (Raden Umar Said) dengan Sam Poo Kong.
Menurut Sam Poo Kong, gunung yang dilewati merupakan lautan tetapi Sunan Muria yakin itu bukan laut melainkan gunung. Sampai akhirnya kapal Dampo Awang kandas di Gunung Muria. Kapal tersebut membawa rempah-rempah dan tanaman obat-obatan yang sampai sekarang tumbuh subur di Gunung Muria salah satunya adalah buah Parijoto yang diyakini oleh masyarakat sekitar untuk acara tujuh bulanan (mitoni) supaya anaknya bagus rupawan.
Pada tahun 1980-an Batik Kudus mengalami kemunduran karena sudah tidak ada pengrajin yang berproduksi lagi. Hal ini disebabkan adanya perkembangan batik printing. Maka pengrajin Batik Kudus banyak yang gulung tikar dan akhirnya masyarakat Kudus lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik rokok karena banyaknya industri rokok di Kudus.
Namun, saat ini beberapa pengrajin batik di Kudus mulai menggiatkan kembali usaha Batik Kudus yang telah lama hilang. Bahkan di Kudus ada beberapa pengrajin batik Kudus yang telah memiliki galeri sendiri untuk memamerkan hasil karyanya.
Batik Kudus telah menjadi saksi sejarah bahwa budaya Indonesia sarat dengan budaya toleransi yang menjunjung tinggi nilai-nilai keragaman budaya. Sudah saatnya nilai-nilai yang terkandung dalam selembar batik kudus digaungkan kembali dalam memperkuat jatidiri bangsa. (DAM)
Batik merupakan karya budaya yang mewakili identitas Indonesia di kancah internasional. Dalam selembar kain batik, terpapar identitas budaya bangsa, serta sejarah suatu daerah atau kota.
Bukan hanya satu atau dua jenis dan motif batik saja yang lahir dan berkembang, namun ada ribuan yang tersebar di berbagai daerah di Indonesia. Salah satunya yaitu Batik Kudus yang didesain dengan motif unik dan menarik.
Batik Kudus merupakan produk yang dihasilkan dari salah satu daerah di Pulau Jawa yang merupakan pusat perkembangan agama Islam, serta memiliki pengaruh kuat dari budaya Cina. Hal tersebutlah yang menjadikan Batik Kudus ini sebagai hasil karya multikultur.
Sejak masa Sunan Kudus, sekitar tahun 1600an hingga 1930an, Batik Kudus mengalami asimilasi dengan kebudayaan Cina. Sejarah mengungkapkan bahwa pengaruh budaya dari para pedagang Cina kaya zaman dahulu yang mendatangkan para pembatik dari Pekalongan menciptakan batik peranakan dengan ciri khas Batik Kudus.
Batik Kudus juga menghasilkan batik-batik lainnya yang sangat dipengaruhi budaya Islam. Hal ini terpapar dari dalam batiknya yang didominasi dengan motif Arab. Warna-warnanya pun cenderung gelap, seperti hitam, dan biru tua.
Awalnya Batik Kudus yang berasal dari utara pulau Jawa ini, telah populer sejak era Sunan Kudus di abad ke-16. Pada era Sunan Kudus (Syekh Jafar Shodiq), Batik Kudus berpusat di Langgar Dalem dan terkenal dengan motif Langgar Dalem yang kental dengan sentuhan Islam. Pada masa itu, semua wanita di Langgar Dalem dapat membatik Kudus demi memenuhi kebutuhan pakaian masyarakat sekitar dan Sunan Kudus sendiri.
Memasuki tahun 1800, Batik Kudus mulai diproduksi sebagai home industry dan pusat produksi bergeser ke arah barat atau Kudus Kulon. Sesuai dengan sosiokultural yang berlaku pada masa itu bahwa gadis-gadis Kudus Kulon dalam menjalani kehidupannya dipingit oleh orang tua mereka.
Untuk mengisi waktu, gadis-gadis tersebut diajari membatik. Selain Rama Kembang, Beras Kecer dan Alas Kobong, motif Kapal Kandas merupakan motif yang digemari para pembeli pada waktu itu.
Meskipun kerajinan batik di Kudus mulai ada pada tahun 1935, namun baru berkembang pesat pada tahun 1970-an. Corak dan motif Batik Kudus sangat beragam, karena pada masa itu selain berasal dari penduduk asli setempat, para pengrajin Batik Kudus juga berasal dari etnis Tionghoa.
Sekitar tahun 1950-an munculnya nama seniman seperti Liem Boe In, Liem Boen Gan, Kwe Suiauw, Ok Hwa, dan Gan Tjioe Gwat yang memberikan warna baru pada motif Batik Kudus. Seniman-seniman Cina tersebut muncul memberi ide-ide baru dalam motif Batik Kudus.
Batik Kudus juga dikenal sebagai batik peranakan yang halus dengan isen-isen (isian dalam raga, pola utama) yang rumit. Batik ini didesain dengan warna-warna sogan (kecoklatan) yang diberi corak parang, tombak, atau kawung. Batik tersebut juga dihias dengan rangkaian bunga, kupu-kupu, serta ragam motif lainnya yang sesuai dengan ciri khas Kabupaten Kudus.
Batik Pesisir
Batik Kudus coraknya lebih condong ke batik pesisiran, yakni adanya kemiripan dengan corak batik Pekalongan maupun Lasem. Batik Kudus yang dibuat oleh pengrajin Cina atau Tionghoa dikenal dengan batik nyonya atau batik saudagaran.
Batik ini mempunyai ciri khas isen-isennya yang halus dan rumit, dan kebanyakan dipakai oleh kalangan menengah ke atas. Di samping itu, motif yang dibuat coraknya lebih ke arah perpaduan antara batik pesisir dan batik mataraman (warna sogan).
Batik Kudus yang dibuat oleh pengrajin asli Kudus dipengaruhi oleh budaya sekitar dan coraknya juga dipengaruhi batik pesisiran. Motif yang dibuat mempunyai arti ataupun kegunaan, misalnya untuk acara akad nikah ada corak Kudusan seperti busana kelir, burung merak dan adapula motif yang bernafaskan budaya Islam atau motif Islamic Kaligrafi.
Motif yang bernafaskan kaligrafi dipengaruhi oleh sejarah walisongo yang berada di Kudus yaitu Sunan Kudus (Syekh Dja’far Shodiq) dan Sunan Muria (Raden Umar Said). Corak yang bernafaskan Islam ini timbul karena pengrajin batik banyak berkembang di sekitar wilayah Sunan Kudus atau dikenal dengan Kudus Kulon.
Salah satu motif yang juga sangat dikenal di Kudus adalah motif Kapal Kandas. Menurut sejarah yang dituturkan oleh juru kunci Gunung Muria, motif Kapal Kandas tersebut berkaitan dengan sejarah kapal Dampo Awang milik Sam Poo Kong yang kandas di Gunung Muria. Menurut sejarahnya, pada masa itu terjadi perdebatan antara Sunan Muria (Raden Umar Said) dengan Sam Poo Kong.
Menurut Sam Poo Kong, gunung yang dilewati merupakan lautan tetapi Sunan Muria yakin itu bukan laut melainkan gunung. Sampai akhirnya kapal Dampo Awang kandas di Gunung Muria. Kapal tersebut membawa rempah-rempah dan tanaman obat-obatan yang sampai sekarang tumbuh subur di Gunung Muria salah satunya adalah buah Parijoto yang diyakini oleh masyarakat sekitar untuk acara tujuh bulanan (mitoni) supaya anaknya bagus rupawan.
Pada tahun 1980-an Batik Kudus mengalami kemunduran karena sudah tidak ada pengrajin yang berproduksi lagi. Hal ini disebabkan adanya perkembangan batik printing. Maka pengrajin Batik Kudus banyak yang gulung tikar dan akhirnya masyarakat Kudus lebih memilih bekerja sebagai buruh pabrik rokok karena banyaknya industri rokok di Kudus.
Namun, saat ini beberapa pengrajin batik di Kudus mulai menggiatkan kembali usaha Batik Kudus yang telah lama hilang. Bahkan di Kudus ada beberapa pengrajin batik Kudus yang telah memiliki galeri sendiri untuk memamerkan hasil karyanya.
Batik Kudus telah menjadi saksi sejarah bahwa budaya Indonesia sarat dengan budaya toleransi yang menjunjung tinggi nilai-nilai keragaman budaya. Sudah saatnya nilai-nilai yang terkandung dalam selembar batik kudus digaungkan kembali dalam memperkuat jatidiri bangsa. (DAM)
Senin, 26 September 2016
Sejarah Desa Peganjaran
Desa Peganjaran merupakan salah satu dari 10 desa yang menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus, dengan batas wilayah sebagai berikut:
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Karangmalang (Gebog), Desa Besito (Gebog), dan Desa Bae,
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Purworejo (Bae), Desa Panjang (Bae), dan Desa Singocandi (Kota).
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bakalan Krapyak (Kaliwungu) dan Desa Gribig (Gebog).
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Gribig (Gebog) dan Desa Karangmalang (Gebog).
Menurut cerita yang beredar secara turun temurun yang disampaikan dari mulut ke mulut yang kami peroleh dari beberapa sumber: Desa Peganjaran berdiri bermula dari penggabungan dari 3 Desa yang masing-masing dipimpin oleh Petinggi/ Kepala Desa. Adapun Desa-Desa tersebut yaitu: Desa Delingo, Desa Jatisari, dan Desa Blender.
Konon menurut shohibul hikayah di Desa tetangga (Desa Gedangsewu) ada seorang yang suka berbuat onar (maling/merampok) yang konon dia adalah seorang yang punya kelebihan yaitu seorang yang sakti. Maling atau rampok tersebut bernama Minak Koncar. Karena masyarakat merasa resah atas olah atau sepak terjang dari si Minak Koncar tersebut, sedangkan masyarakat setempat juga tidak bisa menangkap, maka masyarakat melaporkannya kepada Bupati.
Setelah Bupati yang berkuasa pada zaman itu menerima laporan dari masyarakat, akhirnya Beliau menyelenggarakan sayembara. Isi sayembara adalah: Barang yang bisa menangkap hidup/mati sang maling/rampok tersebut yang membuat resah masyarakat akan mendapat ganjaran dari Bupati berupa tanah seluas 2 Ha. Tanah ganjaran itu terletak di wilayah Desa Gedangsewu.
Konon orang yang berhasil menangkap sang maling (Minak Koncar) adalah salah satu warga Desa Blender. Kemudian Sang maling diarak ke Kaunderan (Kabupaten) kemudian diserahkan kepada Bupati. Namun tidak diketahui nama dari orang yang berhasil menangkap Sang maling tersebut. Sesuai dengan isi sayembara, maka orang tersebut diberi ganjaran berupa tanah seluas 2 Ha. Karena tanah tersebut berada diwilayah Desa Gedangsewu, sedang yang mendapat ganjaran berupa tanah adalah orang dari Desa Blender, maka oleh para tokoh pemuka Desa yang terdiri dari Desa Delingo, Jatisari, Blender ditambah Desa Gedangsewu mengadakan musyawaroh untuk mengambil kesepakatan yang terbaik.
Hasil dari musyawaroh tersebut adalah: Para tokoh Desa sepakat untuk menggabungkan keempat Desa tersebut menjadi satu Desa. Sedang nama Desa tersebut disepakati bernama “Peganjaran“ dan dipimpin oleh seorang Kepala Desa/Petinggi. Nama "Peganjaran" diambil dari tanah yang diberikan Bupati sebagai ganjaran atas keberhasilan dalam menangkap maling yang bernama Minak Koncar. Kepala Desa/Petinggi Peganjaran yang pertama kali adalah bernama “Suro Dikdjojo Wakiyan”.
Demikian sekilas sejarah Desa Peganjaran, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus. Untuk kebenaran secara pasti sejarah Desa Peganjaran tidak bisa dikatakan 100 % benar karena itu semua bersumber dari cerita atau legenda.
- Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Karangmalang (Gebog), Desa Besito (Gebog), dan Desa Bae,
- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Purworejo (Bae), Desa Panjang (Bae), dan Desa Singocandi (Kota).
- Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Bakalan Krapyak (Kaliwungu) dan Desa Gribig (Gebog).
- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Gribig (Gebog) dan Desa Karangmalang (Gebog).
Menurut cerita yang beredar secara turun temurun yang disampaikan dari mulut ke mulut yang kami peroleh dari beberapa sumber: Desa Peganjaran berdiri bermula dari penggabungan dari 3 Desa yang masing-masing dipimpin oleh Petinggi/ Kepala Desa. Adapun Desa-Desa tersebut yaitu: Desa Delingo, Desa Jatisari, dan Desa Blender.
Konon menurut shohibul hikayah di Desa tetangga (Desa Gedangsewu) ada seorang yang suka berbuat onar (maling/merampok) yang konon dia adalah seorang yang punya kelebihan yaitu seorang yang sakti. Maling atau rampok tersebut bernama Minak Koncar. Karena masyarakat merasa resah atas olah atau sepak terjang dari si Minak Koncar tersebut, sedangkan masyarakat setempat juga tidak bisa menangkap, maka masyarakat melaporkannya kepada Bupati.
Setelah Bupati yang berkuasa pada zaman itu menerima laporan dari masyarakat, akhirnya Beliau menyelenggarakan sayembara. Isi sayembara adalah: Barang yang bisa menangkap hidup/mati sang maling/rampok tersebut yang membuat resah masyarakat akan mendapat ganjaran dari Bupati berupa tanah seluas 2 Ha. Tanah ganjaran itu terletak di wilayah Desa Gedangsewu.
Konon orang yang berhasil menangkap sang maling (Minak Koncar) adalah salah satu warga Desa Blender. Kemudian Sang maling diarak ke Kaunderan (Kabupaten) kemudian diserahkan kepada Bupati. Namun tidak diketahui nama dari orang yang berhasil menangkap Sang maling tersebut. Sesuai dengan isi sayembara, maka orang tersebut diberi ganjaran berupa tanah seluas 2 Ha. Karena tanah tersebut berada diwilayah Desa Gedangsewu, sedang yang mendapat ganjaran berupa tanah adalah orang dari Desa Blender, maka oleh para tokoh pemuka Desa yang terdiri dari Desa Delingo, Jatisari, Blender ditambah Desa Gedangsewu mengadakan musyawaroh untuk mengambil kesepakatan yang terbaik.
Hasil dari musyawaroh tersebut adalah: Para tokoh Desa sepakat untuk menggabungkan keempat Desa tersebut menjadi satu Desa. Sedang nama Desa tersebut disepakati bernama “Peganjaran“ dan dipimpin oleh seorang Kepala Desa/Petinggi. Nama "Peganjaran" diambil dari tanah yang diberikan Bupati sebagai ganjaran atas keberhasilan dalam menangkap maling yang bernama Minak Koncar. Kepala Desa/Petinggi Peganjaran yang pertama kali adalah bernama “Suro Dikdjojo Wakiyan”.
Demikian sekilas sejarah Desa Peganjaran, Kecamatan Bae, Kabupaten Kudus. Untuk kebenaran secara pasti sejarah Desa Peganjaran tidak bisa dikatakan 100 % benar karena itu semua bersumber dari cerita atau legenda.
Langganan:
Postingan (Atom)